Di balik wacana "hak" bicara yang digunakan sebagai tameng untuk menyebar kebohongan.
Suarathailand- Baru-baru ini, beberapa kelompok menggunakan media sosial untuk menuduh para pejabat "menggunakan SLAPP" untuk membungkam para aktivis di provinsi-provinsi perbatasan selatan.
Namun sebelum publik dapat menilai, penting untuk memahami apa sebenarnya "SLAPP" itu dan siapa sebenarnya yang menggunakannya sebagai alat.
SLAPP adalah singkatan dari Strategic Lawsuit Against Public Participation, dan merujuk pada tindakan mengajukan gugatan terhadap individu yang mengungkapkan pendapatnya untuk mengintimidasi atau menekan orang lain agar bersuara.
Dalam kasus di mana para pejabat menuntut mereka yang menyebarkan informasi palsu atau menghasut kebencian di wilayah tersebut, bukan "membungkam" melainkan penegakan hukum untuk melindungi masyarakat dan menjaga perdamaian dan ketertiban.
Pertanyaannya adalah siapa sebenarnya yang mendistorsi istilah SLAPP? Jika ditelusuri lebih lanjut, terungkap bahwa mereka yang mengaku "menuntut untuk membungkam" sebenarnya adalah mereka yang terus menggunakan media dan media sosial untuk menyebarkan informasi palsu. Mereka mencoba menciptakan citra palsu dan menciptakan simpati bagi mereka yang melanggar hukum.
Ini adalah salah satu bentuk "Operasi Informasi" yang bertujuan merusak kredibilitas dan membiarkan jaringan advokasi melanjutkan aktivitasnya tanpa kendali.
Klaim "di-SLAPP" dengan demikian telah menjadi retorika pembelaan diri politik. Setiap kali pejabat menempuh jalur hukum berdasarkan bukti, mereka selalu dibalas dengan pernyataan "negara menuntut untuk membungkam mereka", yang menyebabkan kebingungan publik dan keraguan dalam menegakkan hukum.
Namun, jika pejabat tidak dapat menuntut mereka yang menyebarkan informasi palsu, siapa yang akan melindungi "kebenaran" masyarakat ini?
Hak dan kebebasan memang penting, tetapi harus didasarkan pada tanggung jawab. Kata "hak" tidak boleh digunakan untuk menciptakan kebencian, dan istilah "SLAPP" tidak boleh menjadi tameng bagi kepalsuan. Karena "hak asasi manusia" yang sejati tidak boleh digunakan sebagai alat untuk menghancurkan "perdamaian di provinsi perbatasan selatan."




