T-Dome menggabungkan "lapisan pertahanan berlapis, deteksi tingkat tinggi dan kemampuan intersepsi yang efektif" sekaligus membangun jaring pengaman bagi Taiwan dan raktyatnya.
Beijing, Suarathailand- Kementerian Luar Negeri China menyebut rencana Pemimpin Taiwan Lai Ching-te untuk membangun "T-Dome" sebagai sistem pertahanan udara di pulau tersebut dapat menghasilkan konflik militer.
"Upaya otoritas Lai Ching-te untuk mengupayakan 'kemerdekaan Taiwan' dan menolak reunifikasi melalui peningkatan kekuatan militer hanya akan mendorong Taiwan ke dalam bahaya konflik militer," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun dalam konferensi pers di Beijing, Jumat.
Pemimpin Taiwan Lai Ching-te dalam pidato di Hari Nasional, Jumat (10/10) mengungkapkan Taiwan ingin memperkuat sistem pertahanan untuk menghadapi ancaman musuh.
Salah satu sistem yang akan dipercepat pembangunannya adalah sistem pertahanan udara bernama T-Dome yang menggabungkan "lapisan pertahanan berlapis, deteksi tingkat tinggi dan kemampuan intersepsi yang efektif" sekaligus membangun jaring pengaman bagi Taiwan dan raktyatnya.
"Untuk menegakkan perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan, prinsip satu China harus dijunjung tinggi dan dengan tegas menentang 'kemerdekaan Taiwan'," tambah Guo Jiakun.
Meski tidak secara langsung menyebut China, Lai mengungkapkan T-Dome akan "menjadi jaring pengaman bagi Taiwan untuk melindungi kehidupan dan harta benda warganya." Ia menegaskan, "Kami bertekad mempertahankan perdamaian melalui kekuatan".
Lai menegaskan kembali janji pemerintahannya untuk meningkatkan anggaran pertahanan Taiwan menjadi 3 persen dari pendapatan domestik bruto tahun depan dan 5 persen pada 2030, dengan mengatakan bahwa sistem T-Dome adalah salah satu target utamanya.
"China dengan tegas menentang penjualan senjata Amerika Serikat dan hubungan militernya dengan wilayah Taiwan. Posisi ini konsisten dan tegas," tegas Guo Jiakun.
Guo Jiakun juga menyebut ancaman terbesar terhadap perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan saat ini adalah aktivitas separatis untuk "kemerdekaan Taiwan" serta campur tangan pihak luar.
"Masalah Taiwan sepenuhnya merupakan urusan dalam negeri China. Penentangan terhadap konsep 'dua China' atau 'satu China, satu Taiwan' serta dukungan terhadap penyatuan kembali China secara penuh merupakan bagian dari komitmen komunitas internasional terhadap prinsip satu China," ungkap Guo Jiakun.
Kembalinya Taiwan ke China, kata Guo Jiakun, merupakan hasil penting dari kemenangan Perang Dunia Anti-Fasis.
"Resolusi Sidang Umum PBB 2758, sekali untuk selamanya, telah menyelesaikan secara politik, hukum, dan prosedural persoalan perwakilan seluruh China, termasuk Taiwan, di PBB. Resolusi tersebut secara kuat menegaskan dan sepenuhnya menunjukkan bahwa prinsip 'Satu China' bukan hanya aturan yang tidak boleh dilanggar, tetapi juga prinsip mutlak yang merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan internasional yang ada," jelas Guo Jiakun.
Guo Jiakun mengungkapkan setiap upaya untuk memanipulasi fakta sejarah atau menantang Resolusi 2758 sama artinya dengan menantang kedaulatan dan integritas teritorial China, kewibawaan PBB, serta tatanan internasional pasca-perang.
"Tindakan seperti itu secara terang-terangan memutar balik roda sejarah. Hal itu bukan hanya konyol, tetapi juga sangat berbahaya," kata Guo Jiakun.
Dalam pidatonya mengenai hubungan lintas Selat dalam acara yang sama, Lai mengatakan pemerintahannya menantikan hari ketika China "Dapat mengambil tanggung jawab sebagai kekuatan besar dan menghentikan distorsi terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 2758 dan dokumen sejarah Perang Dunia II."
Lai juga mengungkapkan harapannya agar China meninggalkan penggunaan kekuatan atau paksaan untuk mengubah "status quo" di Selat Taiwan sehingga Taiwan dan China dapat bersama-sama menjaga perdamaian dan stabilitas Indo-Pasifik."
Resolusi 2758 adalah keputusan yang diadopsi Sidang Umum PBB ke-26 pada 1971 mengenai perwakilan Tiongkok di PBB yang menyatakan Republik Rakyat China sebagai negara yang sah diakui PBB sehingga Republik China (ROC) atau Taiwan kehilangan kursinya di PBB maupun badan-badan yang terafiliasi dengannya.