Usul Nahdlatul Ulama atau NU untuk menghapus istilah kafir bagi non muslim di Indonesia menjadi perbincangan hangat di sepanjang akhir pekan ini. Banyak pihak mengapresiasi usul yang dihasilkan dari sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyah dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Kota Banjar pada 27-1 Maret 2019.
Abdul Moqsith Ghazali yang jadi pimpinan sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyah mengatakan para kiai berpandangan penyebutan kafir dapat menyakiti para nonmuslim di Indonesia.
"Dianggap mengandung unsur kekerasan teologis, karena itu para kiai menghormati untuk tidak gunakan kata kafir tapi 'Muwathinun' atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan warga negara yang lain," katanya di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis, 28 Februari 2019.
Meski begitu, kata Moqsith, bukan berarti NU akan menghapus seluruh kata kafir di Alquran atau hadis. Keputusan dalam Bahtsul Masail Maudluiyyah ini hanya berlaku pada penyebutan kafir untuk warga Indonesia yang nonmuslim.
"Memberikan label kafir kepada WNI yang ikut merancang desain negara Indonesia rasanya tidak cukup bijaksana," ucapnya.
Moqsith sepakat jika urusan 'kafir' ini seharusnya sudah umat Islam Indonesia selesaikan sejak dahulu. Sikap NU yang membahas kembali, kata dia, lantaran ada sekelompok masyarakat yang mulai memberikan atribusi diskriminatif.
Moqsith berujar keputusan terkait penyebutan kafir ini sebatas menjadi dasar sikap NU. Sebabnya tidak akan diteruskan ke Komisi Rekomendasi hingga dibawa ke dalam sidang pleno di acara Munas Alim Ulama ini.
"Biasanya rekomendasi itu terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan negara. Sementara ini hanya narasi akademis," kata dia.
Usulan ini mendapat dukungan dari Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj. Ia mengatakan usulan penghapusan penyebutan kafir kepada warga negara Indonesia nonmuslim, merujuk pada sejarah Nabi Muhammad saat hijrah ke Kota Madinah.
"Dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa tidak dikenal istilah kafir. Maka setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi," katanya dalam penutupan Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Jumat, 1 Maret 2019.
Said menjelaskan istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad masih berada di Kota Mekah dan belum pindah ke Madinah. Saat itu label kafir ditujukan untuk menyebut orang-orang yang menyembah berhala dan tidak memiliki kitab suci dan agama yang benar.
"Tapi setelah Nabi Muhammad hijrah ke kota Madinah tidak ada istilah kafir untuk warga Madinah," ucapnya.
Said menuturkan di Madinah saat itu ada tiga suku besar yang tidak memeluk Islam. Namun Nabi Muhammad memilih menyebutnya nonmuslim.
Menanggapi hasil pembahasan Bahtsul Masail Maudluiyah Munas Alim Ulama NU itu mustasyar PBNU Ma'ruf Amin mengatakan rekomendasi itu dikeluarkan untuk menjaga keutuhan bangsa.
"Ya ini supaya kita menjaga keutuhan. Sehingga tidak menggunakan kata-kata yang seperti menjauhkan, diskriminasi," ujar Ma'ruf lewat keterangan tertulis pada Sabtu, 2 Maret 2019.
Ma'ruf yang kini menjadi calon wakil presiden nomor urut 01, mengaku tidak mengikuti langsung Bahtsul Masail tersebut lantaran saat itu dia tengah melakukan safari politik ke beberapa daerah di Jawa Barat untuk menyerap aspirasi masyarakat. "Saya sendiri tidak ikut sidangnya karena terus muter-muter," ujar Mustasyar PBNU ini.
Namun, menurut dia, jika para ulama telah sepakat untuk tidak menggunakan istilah kafir bagi non muslim di Indonesia, berarti hal itu memang diperlukan untuk menjaga keutuhan bangsa.
"Kalau itu sudah disepakati ulama berarti ada hal yang diperlukan pada saat tertentu untuk menjaga keutuhan bangsa, istilah-istilah yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan itu untuk dihindari," kata Ma'ruf.
Bahkan menurut Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi - Ma'ruf menyebut usulan Munas Alim Nahdatul Ulama (NU) untuk menghapus istilah kafir bagi non-muslim itu bisa menurunkan tensi politik menjelang pemilihan presiden 2019. Sebab, belakangan banyak istilah kafir-mengkafirkan.
"Keputusan NU ini sangat maju untuk menghindari konflik kelompok dalam negara. Kan sebenarnya tidak ada warga kelas dua, apapun agamanya, semuanya sama. Tidak ada diskriminasi," ujar Direktur TKN Jokowi-Ma'ruf, Maman Imanulhaq di Posko Cemara, Jakarta pada Sabtu, 2 Maret 2019.
Ketua Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Nahdatul Ulama (LDNU) ini sepakat tidak ada istilah kafir bagi orang yang tidak beragama Islam. "Kalau mengacu Alquran, kafir itu merupakan istilah bagi orang beragama tapi tidak mengamalkan agamanya, seperti pelaku korupsi atau yang punya lahan tapi enggak dibagi-bagi," ujar dia. (Tempo.co)