Menurut Gerakan Progresif, para pembuat kebijakan telah lama mengkhawatirkan bahwa pemilihan umum daerah dapat menyebabkan korupsi, inefisiensi administratif, atau munculnya "godfather" lokal yang mungkin menantang otoritas pusat.
Bangkok, Suarathailand- Kewenangan untuk memilih gubernur Bangkok diperkenalkan pada tahun 1975 melalui Undang-Undang Administrasi Metropolitan Bangkok (BMA) 1975. Menurut King Prajadhipok’s Institute, undang-undang tersebut diberlakukan di tengah gelombang liberalisasi politik pasca-pemberontakan mahasiswa tahun 1973, ketika cita-cita demokrasi sedang menguat.
Undang-Undang tersebut mendorong pembentukan Administrasi Metropolitan Bangkok. Lebih penting lagi, undang-undang ini memungkinkan penduduk Bangkok untuk memilih gubernur mereka sendiri, menggantikan sistem sebelumnya di mana Kementerian Dalam Negeri menunjuk semua gubernur provinsi.
Langkah ini bertujuan untuk membuat kepemimpinan ibu kota lebih akuntabel kepada warganya dan lebih responsif terhadap tantangan kota yang terus berkembang, mulai dari urbanisasi yang pesat hingga transportasi umum dan pengelolaan banjir.
Mengapa hanya Bangkok?
Meskipun Bangkok memperoleh otonomi elektoral, provinsi-provinsi lain tidak. Menurut laporan Parliamentary Research Service, ukuran, kompleksitas, dan kepentingan nasional ibu kota menjadikannya kasus yang unik. Pemerintah yakin bahwa pemilihan langsung dapat berhasil di Bangkok karena institusinya yang lebih kuat dan populasi yang lebih aktif secara politik.
Namun, pemerintahan-pemerintahan berikutnya menolak untuk memperluas hak yang sama ke provinsi-provinsi lain. Menurut Gerakan Progresif, para pembuat kebijakan telah lama mengkhawatirkan bahwa pemilihan umum daerah dapat menyebabkan korupsi, inefisiensi administratif, atau munculnya "godfather" lokal yang mungkin menantang otoritas pusat.
Pendekatan yang hati-hati ini mempertahankan gubernur provinsi sebagai pejabat yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri, memastikan bahwa pemerintah pusat mempertahankan kendali atas pemerintahan daerah.
Gubernur sebagai barometer politik
Sejak tahun 1975, pemilihan gubernur Bangkok telah menjadi ajang politik nasional. Persaingan ini seringkali mencerminkan sentimen publik terhadap pemerintah dan partai politik, menjadikan ibu kota sebagai ajang uji coba bagi gagasan dan tokoh politik baru.
Salah satu tokoh paling berkesan dalam sejarah politik Bangkok adalah Chamlong Srimuang, seorang pensiunan jenderal dan reformis moral yang menang pada awal 1990-an. Ia meraih popularitas melalui kampanye citra bersihnya dan penekanan pada transparansi, yang menetapkan standar baru untuk integritas dalam jabatan publik.
Titik balik lainnya datang dengan terpilihnya Samak Sundaravej pada tahun 2000. Dikenal karena karisma dan gaya populisnya, Samak menarik minat pemilih kelas pekerja dan kemudian menjadi perdana menteri Thailand.
Pada tahun 2013, Sukhumbhand Paribatra, yang mewakili Partai Demokrat, terpilih kembali di tengah iklim politik yang terpecah belah.
Pemilu 2022 menghasilkan kemenangan telak yang bersejarah. Chadchart Sittipunt, yang maju sebagai calon independen, memenangkan lebih dari 1,38 juta suara, tertinggi dalam sejarah Bangkok. Menurut Komisi Pemilihan Umum, jumlah tersebut mewakili lebih dari separuh dari seluruh surat suara yang diberikan.
Kampanye Chadchart didorong oleh data dan berfokus pada solusi praktis, dengan kebijakan yang disesuaikan dengan permasalahan di tingkat kelurahan.
Para analis menggambarkan kemenangannya sebagai "model Bangkok" politik pasca-partisan, yang memprioritaskan kompetensi dan inklusivitas di atas ideologi. Menurut komentar Gerakan Progresif, kemenangannya menandakan meningkatnya tuntutan warga Bangkok akan tata kelola pemerintahan dan akuntabilitas lokal yang efektif.
Simbol demokrasi lokal yang terbatas
Hampir 50 tahun kemudian, Bangkok tetap menjadi satu-satunya provinsi dengan gubernur terpilih. Meskipun desentralisasi sering dibahas, hanya sedikit pemerintah yang mendorong reformasi nasional.
Menurut King Prajadhipok’s Institute, sistem Bangkok menunjukkan potensi sekaligus keterbatasan demokrasi lokal di Thailand. Sistem ini menunjukkan bagaimana partisipasi pemilih dapat meningkatkan akuntabilitas, namun juga betapa sentralistiknya negara ini.