Jumlah warga Korea Selatan yang diculik dan ditahan di Kamboja telah melonjak, dengan 252 kasus yang dilaporkan pada tahun 2025, naik dari 17 kasus pada tahun 2023, menurut data pemerintah.
Kamboja, Suarathaiand- Sebanyak 252 warga Korea Selatan telah dilaporkan diculik dan ditahan di Kamboja dari awal 2025 hingga Juli, meningkat tajam dari hanya 17 kasus pada tahun 2023 dan 220 kasus pada tahun 2024, menurut laporan media lokal pada hari Selasa (2 September), mengutip data pemerintah.
MBC News, stasiun televisi Korea Selatan, melaporkan seorang perempuan berusia 20-an baru-baru ini menerima bantuan setelah ditahan di Kamboja. Ia mengungkapkan bahwa setidaknya 13 warga Korea Selatan lainnya juga terjebak di gedung tempat ia ditahan. Ia menceritakan bagaimana ia dibujuk ke Kamboja dengan tawaran pekerjaan palsu yang menjanjikan gaji tinggi. Namun, setelah ia naik mobil yang diatur oleh seorang pria Kamboja yang bisa berbahasa Korea, ia diculik.
Korban menjelaskan rekening banknya dikuras sebesar 18 juta won (sekitar 420.000 baht), dan ia dipukuli serta disiksa selama berhari-hari hingga ia hampir tidak bisa berjalan. Ia juga mengatakan kepada MBC bahwa ketika ia dibawa ke sebuah ruangan, ia melihat orang lain, yang diduga sesama warga Korea Selatan, menundukkan kepala di lantai di depan komputer dan peralatan lainnya.
Di sana, identitas mereka ditandai dengan nomor, dan mereka dilarang mengungkapkan nama satu sama lain.
Bulan lalu, seorang pria Korea Selatan bermarga Park ditemukan tewas di Kamboja, diduga setelah disiksa dan dipukuli. Para pejabat meyakini ia meninggal setelah dipaksa bekerja di pusat panggilan ilegal.
Pemerintah Korea Selatan telah meminta otoritas Kamboja untuk segera menyelidiki masalah ini.
Sindikat kejahatan yang beroperasi di Kamboja diyakini merupakan bagian dari konspirasi yang melibatkan tiga kelompok, termasuk organisasi kejahatan Tiongkok yang bekerja secara sistematis dengan pejabat Kamboja. Amnesty International baru-baru ini melaporkan bahwa lebih dari 50 pusat penipuan besar telah didirikan di Kamboja, di tengah meningkatnya laporan kekerasan brutal dan perdagangan manusia.