Mendefinisikan Islam secara Benar

Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Dikutip dari mediaindonesia.com 28 Mei 2019


Sering kali kita menyaksikan orang memperjuangkan  Islam dengan definisi yang tidak jelas. Mereka mati-matian  memperjuangkan 'Islam', tetapi sesungguhnya memperjuangkan budaya di  mana Islam mewujudkan dirinya, bukan Islamnya itu sendiri. Yang paling  sering terjadi mengatasnamakan Islam untuk kepentingannya sebagai  politikus, pebisnis, dan profesi.

Ayat dan hadis dipilih yang paling sesuai dengan  kepentingan mereka. Jika tidak menemukan, mereka menafsirkan ayat atau  hadis terlalu jauh atau mengarang hadis.

Pernah terjadi penjual terong cemburu kepada  tetangganya penjual madu. Madunya laku karena ada hadis Nabi yang sering  dikutip: "Madu bisa menyembuhkan segala macam penyakit." Ia lalu  meneriakkan hadis palsu: "Terong bisa menyembuhkan berbagai macam  penyakit." Akhirnya, dagangannya laris karena hadis palsu tersebut

Masih banyak umat Islam belum bisa membedakan antara  ajaran Islam dan budaya Arab, sebuah budaya yang pertama kali mengusung  ajaran Islam. Menjadi the best muslim tidak mesti harus menyerupakan  diri dengan orang Arab, orang Mesir, orang Yaman, atau orang Persia.  Kita bisa tetap sebagai orang yang berkebudayaan Indonesia dengan  berbagai atributnya, tetapi pada saat bersamaan menjadi the best muslim.  Bahkan mungkin tidak kalah dengan muslim Arab.

Kata Islam tersusun dari huruf sin, lam, mim  (salima), sebuah akar kata yang membentuk kata Salam (damai), Islam  (kedamaian), Istislam (pembawa kedamaian), dan Taslim (ketundukan,  kepasrahan, dan ketenangan).

Salam adalah kedamaian dan kepasrahan dalam  pengertian lebih umum. Islam adalah kedamaian dan kepasrahan dalam  pengertian yang lebih khusus, memiliki se-perangkat konsepsi nilai dan  norma (value and norm). 

Istislam adalah seruan kedamai-an dan kepasrahan yang lebih cepat, tegas, rigid, dan sempurna (perfect).

ALLAH SWT memberi nama agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW dengan agama Islam. Bukan agama Salam (kepasrahan tanpa konsep). 

Bukan juga agama Istislam yang lebih meng-utamakan  kecepatan, ketegasan, dan kesempurnaan dalam memperjuangkan kedamaian  dan kepasrahan. 

Kata Islam itu sendiri mengisyaratkan jalan tengah  atau moderat (tawassuth). Di dalam Alquran disebutkan: Inna al-dina  'inda Allah al-Islam (Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam/QS  Ali Imran/3:19), man yabtagi gair al-islam dinan falan yuqbala minhu  (Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali  tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya/QS Ali Imran/3:19).

Perhatikan ayat-ayat tersebut di atas semuanya  menggunakan kata al-islam, dengan menggunakan alif ma'rifah (al), bukan  Islam dalam bentuk nakirah, bukan juga salam atau Istislam. Ini semua  menunjukkan bahwa dari segi bahasa saja al-islam (Islam) sudah  mengisyaratkan jalan tengah, moderat, dan sudah barang tentu menolak  kekerasan dan keonaran.

Seharusnya seorang muslim (orang yang ber-agama  Islam) itu mengedepankan kedamaian, ketundukan, kepasrahan, dan pada  akhirnya merasakan ketenangan lahir batin. 

Agaknya kontradiktif jika panji-panji Islam  dibawa-bawa untuk sesuatu yang menyebabkan lahirnya kekacauan dan  ketidaknyamanan. Apalagi jika atas nama Islam digunakan untuk  melayangkan nyawa-nyawa orang yang tidak berdosa, sangat tidak sepadan  dengan kata Islam itu sendiri.

Kelompok minoritas liberal muslim memaknai Islam  dengan konteks Salam, yang lebih bersifat inklusif-substantif. Sementara  kelompok minoritas radikal muslim lebih memaknai Islam dengan konteks  Istislam, yang menuntut intensitas dan semangat progresif di dalam  mewujudkan nilai dan norma Islam.

Kelompok mainstream muslim memaknainya sebagai Islam, sebuah sistem nilai dan norma kemanusiaan yang terbuka dan moderat.

Share: