Gawat, Thailand Hadapi Krisis Kepercayaan pada Para Biksu di Tengah Dugaan Skandal Seks

Skandal, gaya hidup mewah, dan kurangnya transparansi mengikis kepercayaan publik terhadap para biksu di Thailand. Reformasi dan keterlibatan masyarakat dipandang sebagai kunci pemulihan kepercayaan.


Bangkok, Suarathailand- Thailand telah menyaksikan krisis kepercayaan yang semakin besar terhadap para biksu Buddha dalam beberapa tahun terakhir. Dulu, mereka dianggap sebagai jangkar moral dan tempat perlindungan spiritual. Belakangan para biksu semakin dipandang skeptis karena kepercayaan publik terhadap para biksu jubah safron semakin memudar. 

Apa yang melatarbelakangi erosi kepercayaan ini—dan bagaimana cara memulihkannya?


-Ketika para biksu gagal memenuhi harapan-

Sejumlah isu yang terus-menerus berkontribusi terhadap krisis ini, termasuk:

Skandal dan pelanggaran: Laporan yang meluas tentang korupsi, penggelapan dana wihara, penyalahgunaan narkoba, pelecehan seksual, dan klaim supernatural yang berlebihan telah sangat mengguncang kepercayaan publik. Pertengkaran fisik antar biksu semakin merusak citra mereka sebagai teladan spiritual.

Kurangnya transparansi keuangan: Wihara menerima sumbangan dalam jumlah besar, namun banyak yang tidak memiliki tata kelola yang jelas atau catatan keuangan yang dapat diakses publik. Ketidakjelasan ini menimbulkan kekhawatiran tentang salah urus dan penyalahgunaan dana.

Pameran kekayaan dan ketimpangan: Citra biksu yang hidup mewah, menggunakan barang-barang desainer, atau mengumpulkan kekayaan pribadi, bertentangan dengan prinsip-prinsip kesederhanaan dan kepuasan Buddhis, sehingga membuat publik kecewa.

Perubahan peran sosial: Para biksu pernah menjadi pusat komunitas Thailand, menawarkan bimbingan dan dukungan. Saat ini, banyak yang dianggap jauh dari realitas kehidupan sehari-hari, dan justru berfokus pada ritual dan perolehan pendapatan.

Thailand menghadapi krisis keyakinan terhadap kebhikkhuan di tengah skandal dan pergeseran peran sosial


Konsekuensi hilangnya keyakinan

Seiring menurunnya kepercayaan terhadap kebhikkhuan, dampaknya sangat luas:

Penurunan sumbangan: Dengan terkikisnya kepercayaan, banyak wihara menghadapi tantangan pendanaan karena menurunnya sumbangan—sumber pendapatan utama mereka.

Keterpisahan kaum muda: Generasi muda, yang tumbuh di era informasi dan kritik, semakin mempertanyakan peran agama. Tanpa panutan yang positif, banyak yang menjauh dari agama Buddha.

Merusak citra agama Buddha: Pelanggaran yang dilakukan segelintir orang merusak reputasi agama secara keseluruhan, meskipun banyak biksu yang terus menjunjung tinggi disiplin moral dan melayani masyarakat.

Perpecahan sosial: Kontroversi yang melibatkan biksu sering kali memicu debat publik yang terpolarisasi, memicu perpecahan dan melemahkan persatuan sosial.


Membangun kembali keyakinan: Sebuah jalan ke depan

Meskipun memulihkan kepercayaan publik tidak akan mudah, hal itu mungkin dilakukan dengan upaya dan kolaborasi yang tulus:

Reforasi monastik yang sejati: Badan pengatur harus mengambil tindakan proaktif dan adil terhadap biksu yang melanggar disiplin, memastikan akuntabilitas tanpa menutup-nutupi.

Transparansi dan tata kelola: Wihara harus mengadopsi praktik akuntansi standar dan pelaporan keuangan terbuka untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik terhadap pengelolaan donasi.

Fokus pada prinsip-prinsip Buddhis: Dorong para biksu untuk mewujudkan semangat sejati Buddhisme melalui kerendahan hati, kesederhanaan, dan perilaku etis, yang memperkuat inti ajaran keyakinan tersebut.

Perkuat keterlibatan sosial: Wihara harus melanjutkan perannya sebagai pusat komunitas yang aktif, mendukung pendidikan, pembangunan sosial, dan pemecahan masalah praktis di luar fungsi ritual.

Partisipasi publik: Ciptakan saluran bagi umat awam untuk terlibat, memantau, dan mendukung upaya reformasi, memastikan terciptanya institusi monastik yang lebih inklusif dan responsif.

Krisis keyakinan ini menjadi peringatan keras bahwa kebhikkhuan harus berkembang agar tetap relevan dan benar-benar melayani masyarakat. 

Memulihkan kepercayaan terhadap kebhikkhuan bukanlah satu-satunya tugas para rohaniwan—hal ini membutuhkan tanggung jawab bersama dari para biksu, umat awam, dan otoritas terkait untuk memastikan Buddhisme tetap menjadi fondasi moral yang kuat dalam masyarakat Thailand.

Share: