Antara Jihad dan Tasyaddud

Penulis: Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Dikutip dari mediaindonesia.com Pada: Minggu, 26 Mei 2019


KEKERASAN dalam bahasa Arab diistilahkan dengan tasyaddud. Tidak semua tasyaddud itu jihad dan tidak semua jihad itu tasyaddud.  Jihad memiliki definisi dan kriteria sendiri. Bisa saja orang melakukan  tindakan kekerasan dikemas dengan baju agama Islam, bahkan yel-yel yang  diteriakkan Allahu Akbar, tetapi belum tentu itu jihad.

 rti jihad sebagaimana dijelaskan di dalam artikel terdahulu ialah  segala upaya yang dikerahkan­ untuk mencapai tujuan Islam. Upaya-upaya  itu bisa dalam bentuk fisik (jihad), pemikiran (ijtihad), dan semangat  batin (mujahadah). Jika ada yang mengatasnamakan suatu gerakan jihad, tetapi tidak melibatkan dimensi ijtihad dan mujahadah,  belum bisa disebut jihad. Jika ia korban, tidak bisa disebut sahid.

 Ulama besar, Al-Ashfahani, membagi jihad, yaitu jihad di dalam  menghadapi musuh yang betul-betul nyata, jihad menghadapi jin atau setan  yang mengganggu, dan jihad menghadapi nafsu yang terdapat di dalam diri  setiap orang. Jihad yang paling penting dan sekaligus paling berat  ialah jihad ketiga sebagaimana sabda Nabi, “Kita kembali dari jihad yang  terkecil menuju jihad yang lebih besar, yakni jihad melawan hawa  nafsu.”

Dengan demikian, jihad tidak mesti harus memegang senjata. Tukang  sapu jalanan memegang sapu, mahasiswa memegang pena, petani memegang  cangkul, nelayan memegang jala, dan tentara memegang senjata.  Sesungguhnya mereka sedang berjihad dan alat-alat yang ada di tangan  mereka ialah peralatan jihad.

Inti dari sebuah jihad ialah menghidupkan orang, bukan mematikan;  untuk membahagia­kan orang, bukan menyengsa­ra­kan, untuk memintarkan  orang, bukan menjadi penyebab ke­bodohan, untuk memperkaya orang, bu­kan  memiskinkan orang, untuk menyehatkan orang, bu­kan menyakiti orang,  untuk men­cip­takan ketenangan, bukan menimbulkan kegaduhan, dan  me­nyenangkan orang, bukan me­nyedihkan orang.

Pokoknya jihad bertujuan untuk meningkatkan martabat dan kualitas  hidup umat manusia, bukan untuk mencam­pakkan dunia kemanusiaan.

Lebih khusus lagi ialah untuk memberikan citra positif Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, bukan menimbulkan citra negatif Islam dengan menebarkan rasa takut.

Kekerasan dan peperangan memang ditoleransi dalam Islam, tetapi  dengan syarat amat ketat. Ali Jum’ah, ulama terkemuka Al-Azhar Mesir,  memberikan enam syarat atau etika agar peperangan tidak menjurus  kekerasan atau terorisme, yaitu (1) cara dan tujuan perjuangan harus  jelas dan mulia, (2) al-qital (peperangan­) hanya dibenarkan untuk angkatan perang, bukan penduduk sipil yang tak berdosa, (3) al-qital  harus dihentikan bila musuh sudah menyerah atau angkat tangan, (4)  melindungi tawan­an perang dan memperakukannya secara manusiawi, (5)  memelihara lingkungan, tidak membunuh binatang tanpa alasan, tidak  membakar pohon dan merusak tanaman, mencemari air, dan merusak rumah  atau bangunan, dan (6) menjaga hak dan kebebasan beragama para agamawan  dan pendeta dengan tidak mence­derai mereka.

Rasulullah mencontohkan para tawanan perang Badar tidak mengeksekusi  laki-laki dan memperbudak perempuan, tetapi menahannya di masjid dan  pada saatnya ­mereka dilepaskan.

Ada yang ditebus dengan mengajarkan keterampilan bahasa, tukang kayu,  tukang besi, keterampilan membuat senjata, mengajarkan seni, menyamak  kulit, dan berbagai keterampilan lainnya.

 Dengan demikian, jihad dalam Islam tidak bisa diidentikkan­ dengan  tindakan kekerasan. Jihad mengeliminasi unsur kekerasan di dalam segala  perjuangan.

 Segala kekerasan, untuk apa pun, kepada siapa pun, oleh siapa pun, dan atas nama apa pun tidak ada tempatnya dalam Islam.

 Islam selalu berusaha mewujudkan kedamaian dan kesentosaan di dalam masyarakat tanpa membedakan agama, etnik, dan golongan.

Share: