Thailand menghadapi lonjakan penutupan pabrik, sebanyak 561 pabrik tutup tahun ini, terutama di industri baja dan logam.
Industri baja dan logam paling terkena dampaknya karena biaya produksi tetap tinggi dan barang-barang murah asal Tiongkok mengalir ke pasar.
Thailand menghadapi lonjakan penutupan pabrik, sebanyak 561 pabrik tutup tahun ini, terutama di industri baja dan logam.
Federasi Industri Thailand (FTI) memperingatkan jika biaya produksi, termasuk energi, transportasi, dan suku bunga tetap tinggi, kemungkinan besar akan terjadi lebih banyak penutupan. FTI mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan segera untuk mendukung dunia usaha.
ML Peekthong Thongyai, wakil ketua federasi, mengatakan FTI memantau dengan cermat tren penutupan pabrik yang sedang berlangsung. Menurut data dari Departemen Pekerjaan Industri, 561 pabrik tutup antara bulan Januari dan Mei, mengakibatkan 15.342 pekerjaan hilang, dengan rata-rata sekitar 3.000 pekerjaan per bulan.
Ini termasuk 12 pabrik plastik, 11 pabrik logam, dan 8 pabrik pengolahan kayu. Tingginya biaya produksi, termasuk suku bunga, meningkatkan kekhawatiran akan terjadinya penutupan lebih lanjut. FTI mendesak pemerintah untuk menerapkan langkah-langkah tambahan untuk mendukung pelaku usaha. Namun, dunia usaha juga harus beradaptasi dan mencari cara untuk mengurangi biaya.
Selama dua tahun terakhir, barang-barang berharga murah telah membanjiri pasar dan meningkatkan persaingan. Amerika Serikat dan Eropa telah memberlakukan hambatan perdagangan terhadap barang-barang Tiongkok, namun Tiongkok terus memproduksi dalam jumlah besar, sehingga barang-barang tersebut sampai ke pasar Thailand, sehingga menyulitkan perusahaan-perusahaan Thailand untuk bersaing.
Data menunjukkan 678 pabrik tutup pada tahun 2021, 997 pada tahun 2022, dan 1.337 pada tahun 2023, meningkat 60% dari tahun 2022.
Nawa Chantanasurakon, yang juga wakil ketua FTI, menyatakan keprihatinannya bahwa situasi ekonomi saat ini dapat menyebabkan lebih banyak penutupan usaha, dan trennya semakin memburuk dibandingkan dua tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh konflik perdagangan yang sedang berlangsung antara AS, UE, dan Tiongkok, serta masuknya barang-barang murah ke kawasan ASEAN. (thenation)